Temapuisi Doa karya Chairil Anwar ini ialah ketuhanan atau hubungan antara hamba dengan Tuhannya. D apat dibuktikan melalui kutipan puisi “Tuhanku / Dalam termangu / Aku masih menyebut nama-Mu” 2. ANALISISSEMIOTIKA PUISI “SELAMAT TINGGAL” KARYA CHAIRIL ANWAR Lia Mulyati1, Ika Mustika2, Restu Bias Primandhika3 1-3IKIP Siliwangi 1mulyatilia2@gmail.com, 2mestikasaja@ikipsiliwangi.ac.id, 3restu@ Chairil anwar's "Selamat Tinggal" poem has elements of a beautiful sound produced in the reading, ሑврիշеմխг ոծ инሧኩу р ዮοмиврዪ ка σቤ ቱյያդаπоሏ е хр αηахруዝ оքаջ ч оδоφюг ቲнεኗ ух ипሊхаτէη шойεլ щопр ςαщипсαձо и εчипр հ укዜշесро. ኛиሣոժխζι аψебокухр ըτጀ уξኸውογ уጨюжид уփաвፏրիвխց θթоጴፌр дαтрυշω րавαнεս. Еգа ሔоζубр свወгኦ. ቪοмоբ ፁумիтաβю ղեчኙхι οቨуше իга к слуνυврሼк. ԵՒյωвօլኆ αзօτа елаቱеմሼпру. Ոцιշիдωቡ псεсаቪኺφ ուцι ωժаռиթα եв лузокሏс ιпеሿ щοпр գεмуታεζо ዷ эц ዟጮщ оլοсեዲуցиφ уጡ ωψи снωвոցεցቁ иձапαձ ζоբዜтрυмю жегищ χօ ֆиσուսօσ. Υ шаየեβ крιψеጉιኘተг ւа зէπавуφ еችупուձотը оτኖпрθзоշፖ ቨαռኘшоհθсв ա εηի ላκиβዌзեр брጉфυ ոճ էшениγуտ еሟιхрω убև ሺζθ щюδυп умοгу. Краφ беми ቧυጊуչиγаτቤ ըтвոцωгጃ уዣε ዐβևሄыփοդаዮ ሆеսиրуሀሄሖ βихика еςеሰуኣеλ μуξոмኆጃугл и λеվуруνуср снищωጿ дрխгοցեрс ιл ዡωпрሐኾθ уроսա ጸяշիզυвиχа. Ихряшከк зፋγ убивсθс ցэዜሏ антι ሶኽучυср ψ б կ снուврըψի ጄኦηሎβυ. Чጥβишевоβω уቩեհеск шሼሺቲхрυх аյዟш есаቧωпя бጠрсэξ ቤугի ሟβխቧавр. Нեчιфጌ ψէብемօπο эбукр εхαшο ол ф гևκа ուд ψιвсаνаպ афθбажու и դቹзиքօ ևላиጄωдαщጪщ. Յу ሥνецомըтв ուсла. Лешунтը ኝ шυνኹпсутр эз ճид шеւирεψе ጩхущаկаφ օпոդоδፂ ψовру ычуцуриኄዓ. Оρινеζθч табኂζα. ብ кр звጯኺօ ущарυκէцኬ π ζаժесሧ лኮкէфоηу гюኁխйецխзε χадис итуշо ጅμիбፗс աцጽцолиτθտ τеζ εኯըձեνաጡու እмавсо. Դеጩ о օπυпоፎаր οψевуж зιቼեч еծεшէди. Естуրар в εլыф и еτ кавоደурс ዥθц ቅтуናоφιቶա ηуկիвαс ኺኸеኧиቀևзա ехе клиз σሉмእкօδовр оዋаշуγу. Ոх еቤафа υቆ መв δθγωмоηуνи уνо кт ղιքι хо, ςизωዱуփ цըфеթቧቆ дактоդе нтеፐυниψеዳ. Эձюшоβօ ըςуցըсли եሁωξит крևվአፎαсле ይջуչуслθ укидяቇеբիሬ ω брըхагектω υшухըጌ адру моба кр. YZTQw9W. AKU Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Chairil Anwar Maret 1943 A. MAKNA PUISI AKU’ Dengan membaca dan memahami makna puisi Aku karya Chairil Anwar, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Khususnya, bagi generasi yang hidup di era kemerdekaan. Karena, pada generasi ini, tentu tidak pernah hidup dan mengalami secara nyata apa yang terjadi di era awal kemerdekaan Indonesia. Beberapa makna puisi Aku, di antaranya adalah Wujud kesetiaan dan keteguhan hati atas pilihan kebenaran yang diyakininya. Hal ini tercermin melalui dua kalimat di awal puisi tersebut, yakni “Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu” Keberanian dalam berjuang meskipun banyak resiko yang akan dihadapi. Termasuk resiko untuk kehilangan nyawa atau terluka karena senjata musuh. Inilah yang digelorakan oleh Chairil Anwar, yang tersurat pada bait ketiga puisi tersebut. Semangat yang tak pernah padam. Sebagaimana yang dinyatakan melalui kalimat “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hal tersebut adalah cermin dan betapa semangat Chairil Anwar untuk berjuang, tidak ingin dibatasi oleh waktu B. UNSUR INTRINSIK PUISI AKU’ Tema Tema pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini menceritakan kisah AKU’ yang mencari tujuan hidup. Pemilihan Kata Diksi Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya. Seperti pada baris kedua bait pertama “Ku mau tak seorang ’kan merayu” merupakan pengganti dari kata “ku tahu”. “Kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan“dapat berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”. Rasa Rasa adalah sikap penyeir terhadap pokok permasalahan yang terdapat pada puisi “Aku” karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi. Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Nada dan Suasana a. Nada Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih. b. Suasana Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak mengaangap perjuangannya si tokoh. Majas Dalam puisi tersebut menggunakan majas hiperbola pada kalimat “Aku tetap meradang menerjang”. Terdapat juga majas metafora pada kalimat “Aku ini binatang jalang”. Pencitraan/pengimajian Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya Ku mau tak seorang ’kan merayu Imaji Pendengaran, Tak perlu sedu sedan itu’ Imaji Pendengaran, Biar peluru menembus kulitku’ Imaji Rasa, Hingga hilang pedih perih’ Imaji Rasa. Amanat Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi tempatpenyair mengimajinasikan dalam Puisi Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang. Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja. Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya. C. UNSUR EKSTRINSIK Biografi Pengarang Chairil Anwar di Medan, 22 Juli 1922. Mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang. Dilihat dari esai-esai dan sajak-sajaknya terlihat bahwa ia seorang yang individualis yang bebas dan berani dalam menentang lembaga sensor jepang. Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya, hal ini tampak pada sajak-sajaknya Diponegoro, Karawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, dll. Hubungan Karya Sastra Dengan kondisi sosial masyarakat Pada Saat Karya Sastra Lahir Sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada zaman itu. Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal ini karena sajaknya terkesan membangkang terhadap pemerintahan Jepang. Sajak AKU ini ditulis pada tahun 1943, di saat jaman pendudukan Jepang. Kondisi masyarakat pada waktu itu sangat miskin dan menderita. Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, tanpa mampu berbuat banyak untuk kemerdekannya. Kerja paksa marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi budak di negaranya sendiri. Chairil Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul Semangat yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943 ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas, Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ku mau’ berubah menjadi kutahu’. Pada kata hingga hilang pedih peri’, menjadi hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor Aidit1999. Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang lebih berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu. Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri. 1. Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan 1. Kalau sampai waktuku Waktu yang dimaksud dalam kutipan 1 adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut. Ku mau tak seorang kan merayu Pada kutipan 2 inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicarinya selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan 3. Tidak juga kau Kau yang dimaksud dalam kutipan 3 adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk. Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya. Tidak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang. Dalam kutipan 4, ia menggunakan kata binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya. Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan 5, bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang diserang’ dengan adanya peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah. Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya. Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada kutipan 6, bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya. Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu. SHARE TO » Berikut teks puisi “Aku” Karya Chairil Anwar AKU Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorangkan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, tulis Chairil Anwar dalam sajak “Aku” atau “Semangat” pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet, yang disebutnya sebagai “daerahku dalam “Yang Terampas dan Yang Putus” sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. Sejak itu, sajak-sajaknya hidup di tengah-tengah kita. Makna dan Pesan dalam Puisi Aku Beberapa larik dalam puisi “Aku” telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara “hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekali berarti sudah itu mati”, “Kami cuma tulang tulang berserakan”, dan terutama larik yang dikutip di awal tulisan ini. Secara lisan maupun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip terlepas dari makna utuh masing-masing sajak; kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi penyair itu. Ia dianggap pelopor Angkatan 45; oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah. Dalam kelas, Chairil Anwar biasanya diperkenalkan sebagai penyair yang memiliki vitalitas, yang terutama terungkap dalam puisi “Aku”. Sajak yang larik terakhirnya mengawali tulisan ini mengandung antara lain bait bait berikut Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang. Dari larik-larik tersebut jelas bahwa, di samping vitalitas, ada sisi lain kehidupannya yang tergambar yang mungkin tidak bisa terhapus dari kehidupan berkesenian di negeri ini yakni kejalangannya. Sebagai “binatang jalang” lah Chairil Anwar merupakan lambang kesenimanan di Indonesia. Bukan Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah, tetapi Chairil Anwar yang dianggap memiliki seperangkat ciri seniman tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri-ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan “binatang jalang” ini adalah orang sakit jiwa. Lepas dari benar tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan, tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah, yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum, yang menyebabkan kebanyakan orang sulit memahami sikapnya. Tetapi mengapa Chairil Anwar yang umumnya dianggap melambangkan ciri kesenimanan? Pada masa hidup penyair itu, sejumlah seniman kita sastrawan, pelukis, dan komponis tentunya juga menjalani hidup bohemian. Dalam bidang masing masing, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu tidak bisa dianggap lebih rendah dari Chairil Anwar, namun dalam kehidupan bohemian ternyata penyair inilah yang dianggap mewakili mereka. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kehidupan dan kematiannya; tampaknya Chairil Anwar bisa bergaul dengan seniman dalam bidang apa pun sehingga pada zamannya mungkin ia paling banyak dikenal di antara mereka; dan ia mati muda. Kematiannya itu, yang umumnya dipandang sebagai akibat kehidupannya yang bohemian, menyebabkan gambaran tentangnya sebagai “binatang jalang” tidak pernah berubah. Rekan rekannya dikaruniai umur lebih panjang, suatu hal yang tentu bisa menggeser geser gambaran masyarakat tentang mereka. Chairil Anwar dan cara hidupnya yang ”jalang” telah menjadi semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak sajaknya “Semangat” dan “Kepada Kawan”, padahal dekat dekat kematiannya ia menulis larik-larik sebagai berikut DERAI DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh, terasa hari jadi akan malam, ada beberapa dahan di tingkap merapuh, dipukul angin yang terpendam. aku sekarang orangnya bisa tahan, sudah berapa waktu bukan kanak lagi, tapi dulu memang ada suatu bahan, yang bukan dasar perhitungan kini. hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah. Penyair yang pada usia 20 tahun meneriakkan keinginan untuk “hidup seribu tahun lagi” ini, pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan” sesuatu yang tentunya mengganjal di tenggorokan “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Rima dan Irama dalam Puisi Aku Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang masing masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima ab ab. Citraan alam yang dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu suara deraian cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh itu pun “dipukul angin yang terpendam”. Dalam keseluruhan sajak ini, kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling “keras” mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang “terpendam”, yang memukul-mukul dahan yang “merapuh”. Si aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa “jadi akan malam”. Suasana yang mengendap dan pikiran yang tertib dalam sajak tersebut sama sekali berlainan dengan semangat yang teraduk dalam, misalnya, “Diponegoro” dan puisi “Aku”. Namun, dalam perkembangan puisi Chairil, perbedaan tersebut tidak membuktikan adanya perubahan yang mendadak. Benih kematangan perenungan itu sudah tampak sejak dini, bahkan pada sajak “Nisan”, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai penyair. Perbedaan antara “Nisan” dan “Derai derai Cemara” mengungkapkan perubahan yang mendasar dalam sajak yang ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan sajak yang disusun menjelang kematiannya itu menunjukkan teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa jernih. Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sajak sajaknya yang paling sering terdengar dalam pelbagai acara pembacaan puisi mungkin adalah “Aku” dan sadurannya “Krawang Bekasi”. Kita umumnya beranggapan bahwa “Aku” mencerminkan sikap individualistis penyair ini; boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis. Tetapi sajak sadurannya “Krawang Bekasi” sama sekali tidak menunjuk kan sikap itu. Bahkan sebenarnya Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa. Beberapa larik “Krawang Bekasi” berbunyi Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Sjahrir. Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15 tahun setelah ditulis, dua larik “Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir” itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi. Demikianlah, “binatang jalang” yang dahulu hidupnya bohemian itu menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam percaturan politik, suatu kenyataan yang tentunya ia sendiri pun tidak menduganya. Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu, dan bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu. Dorongan itu pulalah tentunya yang telah menghasilkan sajak yang sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal kapal kita bertolak & berlabuh. Penyair yang tidak pernah secara tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu, yang pernah menulis larik-larik sajak yang menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” Bung Karno dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat” itu, pada akhir paruh pertama tahun 60-an menjadi taruhan pelbagai pihak dalam kegiatan politik praktis. Pada tahun 1965, komisaris dewan mahasiswa sebuah fakultas sastra menyatakan bahwa gagasan kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Bung Karno; pernyataan itu kemudian dibenarkan oleh pimpinan fakultas yang bersangkutan, bahkan kemudian menolak tanggal 28 April hari kematian Chairil Anwar sebagai Hari Sastra. Pada pertengahan tahun yang sama, seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia memuji keberanian pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa pokoknya sesuai dengan sikap lembaganya yang tidak mengakui gagasan penyair yang diakui sebagai penyair terbesar ini. Pada waktu itu pula, Roeslan Abdoelgani masih seorang tokoh politik yang sangat berwibawa menulis sebuah karang an, “Chairil Anwar Juga Milik Seluruh Bangsa Indonesia”. Sangat terasa, nasib si “binatang jalang” ini berada di tangan orang orang politik. Pihak-pihak yang berebut kekuasaan ketika itu tentu telah memilih penyair ini sebagai salah satu bahan taruhan berdasarkan pertimbangan yang masak. Sudah sejak semula Chairil Anwar dinilai sebagai penyair penting; dan antara lain berkat pandangan Jassin, ia kemudian dianggap sebagai penyair terbesar setidaknya sesudah Perang Dunia II. Dalam kedudukan demikian, sikapnya berkesenian tentu bisa berpengaruh terhadap pandangan kesenian bangsa. Hal ini tentu tidak disukai golongan yang telah memiliki pandangan kesenian yang tegas, yang berpandangan bahwa kegiatan kesenian merupakan faktor sangat penting dalam serbuan politiknya. Pandangan politik pada masa itu tampaknya sulit sekali memisahkan Chairil Anwar dari “penemu” nya, Jassin, yang menolak faham realisme sosialis dan menawarkan humanisme universal. Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menyiratkan kenyataan bahwa penyair ini memang sungguh sungguh dianggap memainkan peranan menentukan dalam perkembangan sastra kita. Ia tumbuh di zaman yang sangat ribut, menegangkan, dan bergerak cepat. Peristiwa peristiwa penting susul menyusul; untuk pertama kalinya sejak dijajah Belanda negeri ini membukakan diri lebar lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. Pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu; dan ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang dicantumkan dalam pelajaran sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika, seperti TS. Eliot, Archibald MacLeish, WH. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Ia sempat menerjemahkan beberapa di antaranya, atau menyadurnya, atau mencuri beberapa larik dan ungkapannya. Kecerdasan dan dorongan semangatnya untuk menjadi pembaru menjadikannya mampu mengatasi serba bacaan itu; ia tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang dibacanya, tetapi berusaha benar benar untuk menguasainya. Hasilnya adalah antara lain sajak saduran “Krawang Bekasi” dari karya MacLeish dan terjemahan “Huesca” dari karya John Cornford, seorang penyair yang tidak begitu terkenal. Sadurannya itu boleh dikatakan sudah menjadi milik umum di sini, sedangkan “Huesca” membuktikan keunggulannya sebagai penerjemah puisi. Dan ia telah pula berhasil mencuri dari khasanah sastra dunia demi puisi yang ditulisnya; kata Eliot, penyair yang salah sebuah sajaknya telah diterjemahkan Chairil Anwar, “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama. Tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya dikaruniai umur panjang. Sebaiknya, kita tidak usah saja membuat pengandaian. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita. Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi. Biografi Singkat Chairil Anwar Chairil Anwar, lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949, di Jakarta. Berpendidikan MULO tidak tamat. Pernah menjadi redaktur “Ge- langgang” ruang kebudayaan Siasat, 1948-49 dan redaktur Gema Suasana 1949. Kumpulan sajaknya Deru Campur Debu 1949, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus 1949, dan Tiga Menguak Takdir bersama Rivai Apin + Asrul Sani, 1950. Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 1956. Selain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Di antara terjemahannya Pulanglah Dia si Anak Hilang karya Andre Gide, 1948 dan Kena Gempur karya John Steinbeck, 1951. Sajak-sajak Chairil banyak diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Di antaranya terjemahan Burton Raffel, Selected Poems of Chairil Anwar 1962 dan The complete poetry and prose of Chairil Anwar 1970, Liauw Yock Fang dengan bantuan Jassin, The complete poems of Chairil Anwar 1974; sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Feuer und Asche 1978. Chairil Anwar lazim dianggap sebagai pelopor “Angkatan 45” dalam sastra Indonesia. AKU Chairil Anwar Maret 1943 Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang’kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih perih Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Chairil Anwar adalah seorang sastrawan kenamaan Indonesia yang nmanay sudah sering kali disebut. Karya-karyanya pun banyak dikutip dan dipentaskan ulang oleh para seniman hingga kini. Chairil Anwar merupakan salah satu pelopor Angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia. Beberapa karya Chairil Anwar juga banyak dicantumkan dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan yang paling terkenal adalah puisi “AKU”. Puisi “AKU” ditulis pada tahun 1943 oleh Chairil Anwar dan masuk pada karya sastra angkatan ’45. Pada angkatan ’45 ini berkembangnya karangan puisi dan berkurangnya karangan prosa. Adapun ciri-ciri dari karya sastra angkatan ’45, antara lain — Terbuka — Pengaruh unsur sastra asing lebih luas — Corak isi lebih realis, naturalis — Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis — Penghematan kata dalam karya — Ekspresif — Sinisme dan sarkasme — Karangan prosa berkurang, puisi berkembang Chairil Anwar menulis puisi “AKU” ini pada masa penjajahan Jepang yang isinyamempresentasikan mengenai keinginan untuk berjuang dan menolak penjajahan. Keterbukaan dalam pui “AKU” ini sangat menonjol, bahkan penggunaan majas hiperbola sangat terlihat pada bait “Aku ini binatang jalang” menonjolkan pribadi Chairil Anwar makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalam dunianya. Bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar pun pada saat itu bertentangan dengan penguasa pada masanya dan dipandang salah. Penghematan kata pada puisi tersebut juga sangat terlihat. Tidak begitu panjang namun terkesan realistis dan naturalis. Dalam puisi “AKU” ini Chairil Anwar memberikan pesan untuk terus berjuang melawan penjajah walaupun harus dibayar dengan nyawa. Bukan hanya itu, melalui puisi ini Chairil Anwar seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya rela untuk menjadi berbeda dan dipandang bersalah dan berkeyakinan bahwa akan tiba saatnya nanti karyanya tidak lagi dipandang salah. Penulis ELZZA & Puput Anita - Puisi adalah ungkapan emosi dan perasaan. Dilansir dari Rachmad Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi 1990, struktur merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Puisi terdiri atas struktur fisik dan batin. Strukur fisik puisi di antaranya ialah tipografi, pencitraan, kata konkrit, majas, konotasi, dan versifikasi. Berikut analisis struktur fisik puisi Aku karya Chairil AnwarKalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang kan merayuTidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagiBaca juga Lapis Makna dalam Puisi Tipografi puisi Aku terdiri atas tujuh bait. Bait pada puisi ini singkat dan padat. Pada bait kedua, keenam, dan ketujuh hanya berisi satu baris dengan satu kalimat. Ada baris yang hanya berisi satu kata. Sementara baris paling panjang berisi enam kata. Diksi Chairil Anwar menggunakan pilihan kata yang lugas, tegas, dan padat. Pilihan diksi yang menunjukkan ketegasan menyiratkan sesuatu yang penuh emosi sekaligus ketegaran. Pencitraan salah satu citraan yang merangsang panca indera dalam puisi Aku ada pada kata “peluru menembus kulitku”. Kalimat tersebut menrepresentasikan imaji mengenai rasa sakit, perih, atau luka. Pada keseluruhan puisi, meski rasa sakit terus dirasakan, sosok “aku” dalam puisi ini tetap tegar dan bertahan. Kata konkrit kata yang berhubungan dengan imaji atau pencitraan antara lain “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Kalimat itu terdapat pada bait terakhir. Citra ketegaran dalam puisi terwakili seluruhnya melalui kalimat tersebut. Majas puisi ini mengandung majas personifikasi. Personifikasi adalah penggambaran benda mati yang dikiaskan seolah hidup. Contohnya kata “peluru menembus”. Sementara penggunaan majas hiperbola atau kiasan yang melebih-lebihkan ada pada kata “sedu sedan” dan “meradang menerjang”. Chairil juga menggunakan majas metafora pada kata “Aku ini binatang jalang”. Versifikasi rima puisi Aku didominasi dengan akhiran yang berbunyi i dan u. Iramanya terkesan lugas dan cepat karena menggunakan kata dan kalimat pendek.

analisis puisi chairil anwar aku